Wednesday, October 18, 2017

Pengorbanan Ibu Penjual Beras

 
Sejarah tidak pernah mengenal agama atau aturan apa pun yang memuliakan dan mengangkat derajat serta kedudukan perempuan sebagai seorang ibu sedemikian tinggi, selain Islam. Perintah Allah untuk berbuat baik kepada ibu datang segera setelah perintah-Nya untuk bertauhid dan menyembah-Nya. Islam mejadikan berbakti kepada ibu sebagai salah satu pangkal pokokkebaikan dan menjadikan hak ibu lebih besar ketimbang bapak. Hak ibu lebih besar daripada bapak karena ibu menanggung beban berat saat
mengandung, melahirkan, menyusui dan mendidik anak. Hal ini ditegaskan al-Qur`an dan diulanginya pada lebih dari satu surat agar para anak memerhatikan dan mencamkannya di jiwa dan hati mereka.

Firman-Nya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS Luqmân/31: 14).
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS al-Ahqâf/46: 15).
Dalam hadist Rasulullah saw:
Seorang laki-laki datang menemui Nabi Saw. dan bertanya:
“Ya Rasulullah,
siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan baikku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Ia bertanya lagi:
“Lalu siapa?” Beliau menjawab: “Bapakmu” (HR Bukhârî).
Semoga kisah ini dapat membuka mata hati kita tentang pengorbanan seorang Ibu. Ini adalah kisah nyata yang diambil dari sebuah artikel tentang sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah Ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang.
Ibunya bersusah payah seorang diri membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku untuk belajar menghadapi ujian kelulusan sekolah menengah pertama, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju sekolah yang robek untuk dikenakan sang anak saat ujian.
Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa bekerja lagi di sawah.
Saat itu ibunya masih bekerja sebagai petani, dia menjual sendiri hasil panennya ke pedagang untuk kemudian dipasarkan bila masa panen tapi terkadang upah yang diterima tidak seberapa. Jadi dia mencari sedikit tambahan uang dengan menjualkan ke salah satu perusahaan swasta didekat desanya dengan biasa membawakan 1 kantung berisi 36kg beras ke perusahaan tersebut perbulannya.
Anaknya telah berhasil lulus ujian dengan nilai yang tinggi, dan akan memasuki ke jenjang yang lebih tinggi di salah satu sekolah menengah atas di desanya.
Melihat kondisi ibunya yang memburuk sang anak kemudian berkata kepada ibunya:
“Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah.”
Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata: “Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan dirimu ke sekolah, masalah biaya Insya Allah pasti Allah memberi jalan”
Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya.
Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibu terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.
Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa ibunya datang keperusahaan swasta tempat dia biasa menjual berasnya dan menurunkan sekantong beras dari bahunya. Dia sudah lama menjual beras disana, karena hasil berasnya yang bagus dan terkenal jujur untuk biasanya digunakan perusahaan agar bisa membuat makan siang untuk dijual dikantin. Beberapa petani lain didesanya juga biasa menjual keperusahaan tersebut.
Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata: “Ibu ini kenapa semakin lama beras yang ibu jual ini kualitasnya semakin buruk, kalian para petani selalu suka mengambil keuntungan kecil, ibu lihat?! Disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi Ibu kira perusahaan kami ini tempat penampungan beras campuran?”
Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada Ibu pengawas tersebut.
Awal bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam perusahaan tersebut. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: “Masih dengan beras yang sama?”. Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan ibu ini dan kemudian berkata: “Tak perduli beras apapun yang ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutanya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimannya”
Sang ibu sedikit takut dan berkata : “Ibu pengawas, beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana?” Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata: “Ibu punya berapa hektar tanah kan? Tentu ibu bisa menanam bermacam-macam jenis beras. Kalau memang ibu tidak sanggup menjual kepada kami ya sebaiknya tidak perlu kemari lagi masih banyak petani yang menjual berasnya dengan kualitas bagus”
Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: “Kamu ini kenapa begitu keras kepala? Kenapa masih tetap membawa beras yang sama?? Bawa pulang saja berasmu itu !”.
Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: “Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis”. Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.
Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: “Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi.”
Selama ini Ibu itu tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya. Saat ia pulang larut dan anaknya bertanya “mama dari mana? kenapa setiap hari pulang malam mama kan sedang sakit?” Sang ibu menjawab dengan senyuman di muka lelahnya yang sudah menua bahwa ia kekampung sebelah untuk berobat setiap harinya. Agar anaknya tidak tau, sang ibu selalu memakai pakaian yang menutupi kakinya yang semakin parah.
Setiap hari pagi-pagi buta setelah shalat shubuh dengan kantong kosong dan bantuan tongkat ia pergi kekampung yang agak jauh dari desanya untuk mengemis agar tidak diketahui siapapun. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan ke perusahaan tempat ia menjual berasnya.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata: “Bu sekarang saya akan melapor kepada pimpinan, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu karna kerja sama ibu yang telah menjual beras ibu bertahun-tahun sekaligus membayar kekasaran sikap saya terhadap Ibu. Dan ibu sebaiknya berhenti bekerja lagi karna kondisi ibu semakin parah”.
Sang ibu buru-buru menolak dan berkata: “Jangan, saya mohon. Saya tidak tau harus mencari uang dari mana lagi bila saya tidak diperbolehkan menjual beras disini, penghasilan penjualan beras ke pedagang saat panen hanya cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Saya tidak ingin anak saya berhenti sekolah, saya juga tidak ingin dia tau saya sampai mengemis karna akan melukai harga dirinya di sekolah, saya tidak mau dia malu punya ibu seorang pengemis.”
Sepulangnya dari sana sang ibu mampir ke mushala kecil di dekat jalan, dia shalat ashar dan memohon doa kepada Allah agar diberikan jalan terbaik untuk permasalahan hidupnya ini. Ia tidak ingin anaknya tau ia mengemis, ia juga tidak ingin kehilangan mata pencahariannya. Kalau ia berharap hanya dari pedagang itu hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, karena itu ia tau hanya Allah-lah satu-satunya tempat untuk mengadu.
Tak lama setelah hari itu akhirnya masalah ini diketahui juga oleh pimpinan perusahaan. Secara diam-diam pengawas itu memberitahukan tentang masalah Ibu itu ke pimpinan perusahaan karena merasa kasihan dan karena mengenal kejujuran ibu itu dia memberanikan diri bercerita kepada pimpinannya, karena terharu dengan perjuangan Ibu yang ingin menyekolahkan anaknya pimpinan itu mencoba mengeceknya sendiri. Dia bertanya sendiri kepada tetangga-tetangga didekat rumahnya, dan ternyata memang benar apa yang diceritakan ibu tadi itu bahwa ia pergi pagi buta dan pulang larut malam.
Akhirnya pimpinan meminta pengawas perusahaan untuk datang kesekolah sang anak, menjelaskan kejadian tersebut dan akan menanggung seluruh biaya sekolah anaknya itu. Allah memang Maha Penyayang terhadap umat-umatnya yang mau bersabar dan bertawakal, hati kepala sekolah pun luluh kemudian menyarankan kalau biaya untuk sekolah itu akan ditanggung sekolah, sedangkan biaya yang harusnya digunakan untuk biaya sekolah disarankan untuk disumbangkan saja perbulannya untuk sang Ibu. Mendengar hal tersebut sang pimpinan pun setuju.
Suatu pagi sang pimpinan datang kerumah si Ibu, dia menceritakan segalanya dan niatnya untuk membantu. Namun sang ibu menolak, karna dia takut anaknya tau. Tetapi pimpinan perusahaan itu menjelaskan bahwa tidak ada yang tau kecuali pihak-pihak yang disebutkan tadi, dia merasa kejujuran, ketulusan dan kekuatan seorang ibu adalah suatu yang tak ternilai harganya. Sang pimpinan jadi mengingat betapa Ibunya juga pasti melakukan hal yang serupa bila ini menimpa kekeluarganya dulu, dia jadi mengerti tentang perjuangan ibunya. Karna itulah dia mau membantu sang ibu, dan berkata “Ibu rejeki ini dari Allah. Bukankah seorang muslim tidak boleh menolak rejeki yang datang kepadanya?”
Sang ibu menangis, bersyukur kepada Allah dan mengucap terima kasih kepada pimpinan perusahaan tersebut dan berkata akan menemui kepala sekolah di sekolahan anaknya untuk berterima kasih.
Tiga tahun berlalu, sang anak pun akhirnya lulus dengan nilai tinggi dan mendapat beasiswa masuk keperguruan tinggi negeri yang bagus. Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang? Dan yang lebih aneh lagi disana terdapat tiga kantong beras.
Kepala sekolah memberikan pidatonya, kemudian menyuruh seseorang masuk untuk memberikan pengumuman. Sungguh kaget sang ibu, ternyata pengawas perusahaan itu yang muncul maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.
Kepala sekolah pun menunjukan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata: “Inilah sang ibu dalam cerita tadi.”
Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar.
Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Sang ibu tertunduk malu, takut sang anak malu mengetahui kebenaran ini. Tetapi sang anak justru berlari menujunya dan berteriak dengan suara bangga “ini adalah ibuku, dialah ibuku.” Sang anakpun mencium kening dan memeluk ibunya sambil mengucap “Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikanku seorang Ibu terhebat yang pernah aku temui.” Semua orang diruangan pun menangis.
Itulah hebatnya seorang Ibu (Terima kasih Ibu), dia tidak pernah mengeluh dan selalu mencoba menyembunyikan penderitaan bahkan untuk menjaga hati anak-anaknya. Ia tidak perduli perkataan orang tentangnya, asalkan itu tidak menimpa anaknya. Bahkan hanya demi menjaga perasaan anaknya, luka dihati dan fisiknya ia tidak perdulikan. Semoga ini bisa mengingatkan kita tentang perjuangan seorang ibu untuk kita.
No comments:
Write komentar

Unggulan

Kisah Nyata : ALLAH BAYAR SECARA TUNAI