Awalnya sebagai wanita tentu aku mendambakan seorang suami yang menyayangiku setulus hati karena Allah, bisa membimbingku dunia akhirat, yang kelak akan menjagaku dan anak-anakku dari segala macam bahaya, dan mencukupkan kehidupan keluarga kami. Ya itulah keinginan setiap wanita muslim, tak lebih dan tak kurang. Namun terlalu berat cobaan yang kuterima, akan kuceritakan kisahku yang semoga dapat kalian jadikan pelajaran dalam hidup kalian sebagai muslimah yang ingin menikah ataupun yang sudah mempunyai suami.
Awal berjumpa dengannya adalah ketika aku dijodohkan oleh orang tuaku, sebenarnya aku tidak terlalu menyukainya karena aku mempunyai calonku sendiri yang sudah kukenal lama dan kuketahui tabiat serta ibadahnya. Tetapi karena paksaan orang tua yang menjamin kebahagiaan ku karena kemapanannya dan menyuruhku untuk tidak durhaka ke orang tua akupun terpaksa mengiyakannya. Kalau saja saat itu aku lebih mementingkan perkataan Rasulullah tentang hak seorang wanita dalam menerima calon suami dan berani mengutarakan ini ke orang tuaku mungkin kehidupanku akan berbeda pikirku. Rasul pernah mengatakan ini dalam sabdanya:
Tetapi setelah aku berfikir tak pantas aku menyesalinya, karena semua terjadi atas kehendak Allah. Jika aku menyesalinya, sama dengan aku menyalahi takdir yang Allah gariskan padaku. Tugasku adalah mensyukuri apapun pemberian Allah dan menjalani segala sesuatunya sesuai dengan syariat
Akhirnya aku mencoba untuk mencintainya tentu dengan niat ibadah untuk Allah, dan akhirnya aku terbiasa. 1 setengah tahun pernikahan kami berjalan, kami dikaruniai seorang putra. Tak pelak kehidupan keluargaku makin bertambah ramai dengan datangnya titipan Allah ini, namun tak sesuai dengan apa yang aku impikan. Suamiku mulai berubah, sering terlambat pulang kerja, bahkan terkadang sering menginap. Saat kutanya dia malah membentakku dengan kata-kata kasar hingga bayi kecil kami menangis karena teriakannya. Aku hanya menangis dan mengadukan ini ke Allah berharap dia mendapat hidayahNya. Akupun tidak memendam sedikitpun amarah lagi kepada suamiku, aku tetap melayaninya sebagai istri dan mensyukuri segala pemberiannya sebagaiman hadist ini:
Seiring waktu berjalan, dia semakin kasar bahkan terkadang nafkah yang diberikan semakin berkurang. Saat kutanya apakah ada masalah di kantornya dia malah menyuruhku bekerja untuk mencari tambahan buat biaya hidup kami, semakin berat perjuanganku untuk beribadah kepada Allah adalah saat mertuaku ikut membenciku karena alasan yang tidak jelas. Ia sering bilang aku boros dan tak pandai menjaga suamiku, kerap kata-kata yang menyakitkan pun terlontar untukku. Aku tetap bersabar dan terus mendoakan mereka berdua, berbekal gelar sarjana ekonomi akupun mencari kerja.
Akhirnya aku diterima kerja disebuah perusahaan di kota, tak jarang kubawa anakku saat bekerja atau kalaupun terlalu sibuk kutitipkan putrakku kepada ayah-ibuku, saat mereka bertanya mengapa aku bekerja kujawab dengan datar “aku hanya ingin menyibukan diri dan menyiapkan bekal lebih banyak untuk putrakku”. Semakin sakit hatiku saat orang tuaku mengatakan kalau aku tidak becus menjadi ibu dan istri, karena sudah mempunyai suami mapan tetapi malah menyibukan diri untuk bekerja. Aku hanya diam, tak ku jelaskan soal masalah dikeluargaku bahwa suamiku sendirilah yang menyuruhku kerja. Aku tak ingin orang tuaku merasa bersalah karena pilihan mereka.
Beberapa tahun aku bekerja kini, aku tetap masih menerima perlakuan kasar. Terkadang saat suamiku marah dengan alasan tidak jelas, aku tetap meminta maaf padanya dengan kata-kata lembut agar aku diizinkan tidur disampingnya. Kujalankan tugasku sebagai seorang istri sesuai syariat agama sebagaimana hadist Rasulullah saw:
Suatu ketika, karena badanku yang tiba-tiba terasa tidak enak aku meminta izin pulang dari kantor lebih cepat. Kujemput anakku menggunakan taksi di rumah orang tuaku karena sudah tak kuat badanku rasanya ingin tidur dirumah. Saat pulang kutengok mobil suamiku didalam pagar, aku terheran dan saat aku masuk aku melihat sendal seorang wanita. Kutidurkan anakku di kamarnya lalu kutengok kamarku, betapa hancur dan marahnya diriku saat melihat suamiku berzina dengan wanita lain dikamar kami. Tersontak aku berteriak, dan suamiku keluar dengan wanita itu. Suamiku menamparku, dan dia bilang dia bosan denganku dia kemudian pergi dengan wanita itu dan tidak pernah kembali. Betapa hancur hatiku, ingin pingsan rasanya karena kondisi badanku yang sangat lemah namun kudengar anakku berlari kearahku dan memelukku berkata “Bunda kenapa menangis? Ayah kemana? Bunda jangan sedih, aku bisa ko jagain bunda.” Subhanallah, aku mencoba kuat dan sabar. Semakin deras air mataku, kuucap syukur kepada Allah karena Dia memberiku seorang permata hati ini yang begitu mencintaiku dan bisa ada bersamaku saat ini.
Kusegerakan diri untuk shalat Ashar, karena waktu sudah menunjukan pukul 15.25 sore. Aku bersujud kepada Allah, karna aku tau saat tak ada tempat untuk bersandar, selalu ada tempat untuk bersujud. Setiap hari semakin ingin rasanya aku menghabiskan waktuku untuk beribadah karena jujur saja, saat aku beribadah semakin kuat dan ikhlas aku menghadapi ini. Tentunya tak kutinggalkan tanggung jawab untuk bekerja dan mengurus anakku. Suatu malam membaca Al-Qur’an kutemukan beberapa penggalan ayat yang bahkan sampai saat ini selalu masih terngiang.
Aku rasa Allah-lah yang membimbingku agar membaca beberapa ayat ini, akhirnya semakin kuat diriku, bahkan Allah mempertemukanku dengan sahabatku yang lama tak berjumpa untuk menghiburku. Kuceritakan semua masalahku padanya, kemudian terlontar kata-kata yang membuatku semakin tegar:
Dia berkata “Jangan pernah menghitung apa yang sudah pergi darimu, cobalah hitung apa yang kau punya saat ini. Kamu masih mempunyai Allah dan anakmu, jangan kamu sia-siakan waktumu untuk hal yang tidak penting. Kamu masih mempunyaiku sebagai sahabatmu jika kamu ingin bercerita, kamu masih mempunyai anakmu untuk menemanimu, dan kamu masih mempunyai Allah untuk menjagamu”
Akhirnya kujalani hidupku untuk membesarkan anakku dengan berbekal keikhlasan ku menjalani ini karena Allah, orangtuaku pun tak jarang mengunjungi ku. Mereka merasa bersalah atas apa yang terjadi padaku, namun kukuatkan mereka dan mengatakan kalau aku baik-baik saja. Saat itu perjuanganku semakin berat karena kebutuhan yang semakin banyak tidak sepadan dengan penghasilanku. Aku terus berdoa dan mencoba memulai usaha kecil-kecilan menjual kue di tempatku bekerja. Ada firman Allah yang mengatakan:
Walaupun penuh perjuangan, alhamdulillah lancar dan aku bisa menyisihkan sedikit demi sedikit uang. Akhirnya aku memulai usaha kuliner kecil-kecilan di dekat pasar bersama sahabatku untuk menambah penghasilanku. Dengan waktu yang tidak lama usahak baruku bersama temanku lancar dan terbilang sukses. Secara tak langsung niat untuk membahagiakan dan menafkahi anakku malah menjadi kesibukan baruku yang seakan-akan melupakan masa laluku. Akupun selalu menjadikan hadist Rasulullah dan firman Allah SWT ini acuan untuk terus berjuang melawan masalaluku bahwa masih banyak orang yang lebih menderita dariku:
Mengingat hal ini, membuatku berfikir “mengapa tak kucoba membantu orang-orang disekitarku yang lebih banyak menerima ujian hidup? Bukankah itu juga akan membantuku kelak agar lebih tegar dalam menghadapi ujian hidup” Seperti firman Allah SWT dan hadist ini:
Akhirnya kucoba ikut berbagai macam organisasi sosial dan mengajak anakku, sekaligus mengajarkan anakku yang tumbuh remaja untuk saling membantu sesama. Alhamdulillah Allah melimpahkan rejeki yang melimpah, sehingga aku bisa membuat beberapa panti dan tempat bernaung untuk saudara-saudariku kaum muslim yang membutuhkan.
Namun kurasa ujian untukku belum selesai, tak jarang pria yang mendekatiku. Aku tak berani untuk kearah sana karna aku masih berusaha setia kepada suamiku (yang biarpun sudah bertahun-tahun tidak pulang tidak ada kabar tanpa menceraikanku) dan berharap dia mendapat hidayah setidaknya untuk menengok anaknya saja. Aku tak ingin dia kembali karena kasihan atau hal-hal lain tanpa keikhlasan yang tidak mencintaiku lagi, kupasrahkan semuanya kepada Allah karena Dia-lah yang mampu membolak-balikan hati manusia:
Tak lama kudengar dari beberapa teman suamiku, bahwa dia terbelit hutang dan ditinggalkan selingkuhannya untuk selingkuh ke laki-laki lain yang lebih kaya. Hatiku merasa kasihan, akhirnya kutitipkan uang kepada temannya untuk dia tanpa harus memberitahukannya bahwa itu uang dariku. Semakin berjalannya waktu, anakku tumbuh besar dan aku berhasil membuatnya menjadi sarjana. Dia tak pernah sedikitpun meninggalkanku, Allah memberikanku putra yang didambakan semua orang tua, ibadahnya rajin, berwajah tampan, dan tak pernah mengecewakanku apapun bentuknya. Mungkin doa ku yang sebelum aku mempunyai anak yang selalu kupanjatkan tiap waktu:
Akhirnya tibalah saat anakku akan menikah dengan seorang wanita muslimah yang baik agamanya dan sangat cantik, saat aku hendak mengantarnya mencari gedung untuk resepsi pernikahan untuknya. Tiba-tiba datang seorang polisi mengabarkan bahwa ada pria yang selamat dari usaha perampokan dan sedang terbaring dirumah sakit karena keadaanya kritis usai berusaha menyelamatkan diri, dan sesuai dugaanku itu suamiku. Saat hendak pergi, anakku melarangku dan mengatakan biar saja. Tapi aku tetap harus menemuinya dan anakku pun terpaksa menemaniku. Saat kutemui di rumah sakit, beberapa tulangnya patah karena melompat dari tempat tinggi berusaha melarikan diri dan kepalanya terbentur keras. Dia masih tergeletak koma, hingga ku temani sampai dia sadar di sampingnya.
Saat sadar, dia menangis dan menyesali perbuatannya tetapi anakku malah membentaknya. Semakin banyak kucuran air matanya, sehingga aku meminta anakku untuk meminta maaf kepadanya. Aku mengingatkannya kepada firman Allah SWT dalam salah satu ayat-Nya:
Dia menangis karna baru kali ini melihat anaknya, dan diriku yang ternyata masih setia menjaga kehormatanku sebagai seorang istri. Dia mengatakan bahwa hendak menuju tempatku untuk meminta maaf, dan hendak mengembalikan uang yang aku pernah berikan. Namun tak diduga ada beberapa perampok yang mengikutinya. Akupun meminta maaf kepadanya kerena sampai membiarkannya begini, aku menangis menyesali sebagai istri yang tidak dapat berbakti kepada suami. Sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya, dia mengatakan bahwa melihatku dimimpinya saat koma bahwa aku kelak berada di surga. Dan dia mengucapkan kata-kata yang membuatku menangis diakhir hidupnya yang sedang diambang kesadaran, dia mengucapkan
Setelah itu ia meninggal dengan senyuman dan tetesan air mata yang keluar dari matanya tertutup. Aku sempat kaget karna dia bisa mengucapkan kata-kata itu dengan hadist yang ditujukan untuk kemuliaan seorang istri padahal setauku pengetahuan agamanya biasa-biasa saja entah apa saja yang dia lakukan setelah pergi dari rumah. Hanya ada satu yang terfikir olehku, bahwa Allah telah menuntunnya untuk mengucapkan itu. Aku pun mencium keningnya dan mengucap “Aku setia kepadamu karena Allah ketahuilah tujuanku hanyalah cinta dan kasih sayang Allah serta syurga-Nya itu adalah hal yang terbaik dari segala yang terbaik yang kuinginkan di dunia ini, aku memaafkanmu suamiku.. karena Allah, dan semoga Allah mengampuni segala dosamu”. Aku dan anakku pun menangis.
Sesungguhnya di dunia ini ada jutaan orang menderita dan sengsara, tetapi tidak semuanya menjadi mulia disisi Allah. Seorang hamba yang beriman, bisa menyulap penderitaan menjadi kemuliaan, empedu menjadi madu, dan luka menjadi ceria.
Semoga banyak hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini, Barakallah.